07 Juli 2010

Si Genduk

“Alhamdulillah ya Day, baru punya motor aja sudah bahagia begini. Senang benar ada motor,” kata Genduk.

Aku senyum saja. Kami, aku dan Genduk baru sampai dari masjid di Lenteng Agung. Boncengan naik motor berdua, aku yang bonceng.

“Kalau kita langsung punya mobil, mungkin kita engga bisa ngerasain bahagianya naik motor,” kata Genduk lagi. Jalannya terpincang-pincang menahan sakit di lutut kirinya.

“Iya,” kataku sambil memasukkan motor Mio Sporty yang baru dibeli teteh hampir tiga minggu yang lalu. Rumah saja masih ngontrak, gimana mau beli mobil? Hehehe Genduk ada-ada saja.

Beberapa bulan yang lalu Genduk sering bilang, “Day, motornya buruan panasin, terus antarin ya.”

“Oke,” kataku. Padahal waktu itu motornya belum ada.

Teteh beli motor hanya untuk menyenangkan Genduk, bukan untuk dia sendiri. Aku sih tahu itu. Bukan untuk dia bawa motor sendiri ke kantor. Mengingat pengalamannya pertama kali naik motor yang bikin satu pahanya biru lebam karena nabrak tukang jualan di kampusnya dulu. Apalagi sekarang, ngeliat pasukan motor di Jakarta tiap jam masuk dan pulang kantor. Seram.

Hasilnya, aku yang antar Genduk ke tempat-tempat yang masih bisa aku jangkau. Aku yang rada mendingan bisa bawa motor walaupun belum punya SIM (ssst kalau yang ini jangan bilang-bilang). Belum jauh-jauh sih, selain engga ada SIM belum berani juga. Mungkin kalau jam jalannya sudah sering okelah, jam macet kantor juga bakal dihajar. Selasa dan Jumat, itu jadwal rutin Genduk keluar rumah. Setidaknya untuk dua hari itu aku harus standby antar jemput.

Meskipun judulnya teteh yang beli motor, Genduk ikut menyumbang sekitar 40% dari harga motornya. Jumlah yang lumayan besar mengingat aku tidak menyumbang satu rupiah pun saat itu. Sebelumnya Genduk juga ikut menyumbang untuk usahanya aa dan istrinya. Jumlahnya besar juga. Kadang suka bingung juga, Genduk bisa punya uang sebanyak itu. Katanya itu uang yang kami berikan ke dia. Tapi tetap saja jadi pertanyaan, kok bisa?

***

Lutut kiri Genduk sudah beberapa bulan ini sakit. Akibatnya kalau jalan harus pelan-pelan menahan sakit. Genduk juga sudah tidak bisa terlalu lama berdiri atau duduk, inipun masih berhubungan dengan lutut. Lebih parah bila melihatnya berganti posisi. Dari tidur ke duduk, duduk kemudian berdiri, dan sebaliknya. Terlebih kalau Genduk sedang sholat, kelihatan sangat kesusahan.

Kalau melihatnya naik turun tangga pengen rasanya punya pintu ke mana saja miliknya Doraemon. Jadi engga perlu bersusah-susah dan menahan sakit. Aku selalu menyebutnya “jurus kepiting” ketika Genduk naik turun tangga. Jalannya harus miring karena bertumpu pada pegangan tangan untuk mengurangi sakit. Untung saja di sekitar Genduk tidak ada Mr. Bean. Aku yakin Mr. Bean pasti akan naik turun tangga itu terus menerus sambil mengejek Genduk yang kesulitan.

Bukannya tega melihat Genduk seperti itu. Ini hanya caraku agar Genduk tidak tahu kalau aku sangat khawatir melihatnya. Aa dan istrinya sudah membawa Genduk ke dokter spesialis tulang tapi belum ada perubahan. Genduk pun memilih Puskesmas Kebagusan yang selalu dia bilang No.1 se-DKI. Katanya, teteh saja sembuh dari TBC/TB Paru waktu kuliah dulu.

Agak rancu menebak pikiran Genduk. Antara kepercayaannya dengan puskesmas yang sudah berhasil menyembuhkan teteh atau masalah biaya. Alasan kedua ini yang agak sulit kami lepaskan dari Genduk. Sulit sekali meyakinkan dia bahwa uang bukan masalah yang penting bisa sehat. Tapi Genduk tidak mau membebani siapa pun.

Diagnosa dokter spesialis tulang dan dokter puskesmas tidak jauh beda. Radang sendi dan osteoporosis. Saat ini Genduk sedang minum Glucosamine, obat yang disarankan oleh dokter puskesmas. Belum kelihatan juga hasilnya, katanya harus menunggu sampai satu-dua bulan berturut-turut. Selama itu lutut Genduk tetap bermasalah. Mudah-mudahan obat yang disarankan dokter puskesmas sama ampuhnya seperti ketika menyembuhkan teteh dulu.

Osteoporosis Genduk pertama kali dicek dua tahun lalu berwarna merah. Itu tanda yang paling bahaya. Lalu setelah setahun penuh “minum obat” yang disuplay aa dan istrinya, tanda yang tadinya merah berubah menjadi kuning. Genduk menyebut susu Hi-Lo dengan obat karena dia tidak terlalu suka dengan susu. Mungkin jika warnanya sudah hijau, osteoporosis Genduk tidak jadi masalah lagi.

***

Melihat sakitnya Genduk sekarang rasanya masih belum apa-apa dibanding sakit di hatinya. Sebabnya hanya satu, Genduk dikhianati oleh orang yang sangat dicintainya. Kadang-kadang suka mendengar Genduk menangis sendirian, kadang emosinya meledak, kadang sering menyalahkan diri sendiri. Nasihat sabar agaknya kurang pas jika diberikan. Ini masalah hati dan yang bisa menyembuhkan ya hatinya sendiri.

Kini aku hanya mampu memberikan kebahagiaan-kebahagiaan kecil untuk Genduk. Bukan untuk mengobati sakit hatinya, hanya sekedar membuatnya tersenyum lagi bahkan tertawa. Mengajaknya nonton film di bioskop, wisata kuliner dengan fokus makanan mie yang menjadi favoritnya, membelikan perlengkapan make up yang dulu sama sekali tidak terjangkau olehnya. Atau bahkan hanya makan Bakmi Lenteng yang harganya delapan ribu perporsi. Sederhana memang.

Impian Genduk adalah mempunyai rumah sendiri, kamar mandi yang banyak dan WC duduk. Memang sejak Genduk menikah sampai umurku 28 tahun, Genduk selalu mengontrak rumah. Terhitung lebih dari 10 kali dia pindah rumah. Saat ini aku, teteh, dan aa belum mampu mewujudkan itu. Geregetan memang, tapi membeli rumah tidak semudah membalik telapak tangan kecuali kalau punya pohon uang sendiri. Dan kami tidak punya pohon uang.

Aku pernah bilang ke teteh, aa dan istrinya bahwa sekarang tujuan hidupku adalah Genduk. Seluruh hidupku, kebahagianku, apapun untuk Genduk. Meski tidak bisa berbuat banyak setidaknya aku akan selalu ada untuk Genduk. Walau kadang aku dan Genduk berselisih paham, tapi jangan pernah bandingkan kasih sayangku untuknya dengan yang lain. Karena Genduk tidak terbandingkan.

I love you Genduk, I love you Mom.*

2 komentar:

Ferry Fathurokhman mengatakan...

Tulisan ini mengingatkan saya pada amaziza, yang dalam bahasamu menjadi Genduk. Jangan berhenti berikan kebahagiaan kecil untuk Genduk, karena ada saat nanti dimana kita tak bisa lagi memberikan cinta dalam semangkuk mie. Salam saya untuknya, kawanmu yang pernah mencicipi kornet bombay buatannya.

Dayu Pratiwi mengatakan...

Hatur nuhun ka Pey udah mampir.

Hehehehe... tidak terlupakan lah kedatangan ka Pey dan Rohman yang melihatku tambah kurus karena baru saja keluar dari rumah sakit.

Ternyata cinta itu tidak selalu mahal ya... tapi kalau ada yang mahal sih engga nolak juga. wakakaka